Pengantar

Selamat datang di blog saya, House of Thinkers, sebagai wahana untuk saling berdiskusi dan berbagi mengenai berbagai hal khususnya terkait dengan politik luar negeri dan hubungan internasional.

Blog ini berisi berbagai ulasan yang disajikan dalam format paper. Paper tersebut ada yang orisinal dan ada juga yang berupa rangkuman pendapat dari para pakar. Mohon maaf sebelumnya sekiranya terdapat kesalahan atau ketidakakuratan ataupun kealpaan dalam menyajikan referensi.

Semoga blog ini memberikan manfaat

Terima kasih

Selasa, 29 Desember 2009

Krisis Ekonomi Global dan Dampak Geostrategis di Asia

Krisis Ekonomi Global

dan Dampaknya terhadap Geostrategis di Asia

A. Pendahuluan

Krisis keuangan kembali melanda dunia paska krisis pangan dan energi. Krisis keuangan ini bermula dari tindakan Bank Sentral Amerika Serikat yang berusaha memulihkan ekonomi paska peristiwa serangan terorisme di World Trade Centre pada tahun 2001 dengan cara menurunkan suku bunga secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama. Rendahnya suku bunga bank tersebut telah merangsang pertumbuhan angka kredit masyarakat termasuk di dalamnya kredit perumahan. Pada awalnya kredit berjalan dengan baik karena ditujukan kepada nasabah prima akhirnya meluas kepada nasabah-nasabah yang kurang layak. Nasabah memiliki permasalahan dengan kreditnya bisa memperoleh kredit baru. Banyak pula kredit yang diberikan dengan uang muka yang relatif rendah atau bahkan tanpa uang muka sama sekali. Ada juga kredit yang hanya mensyaratkan pada pembayaran bunga tanpa membayar cicilan pokok. Dengan naiknya harga-harga properti, bank semakin banyak memberikan kredit kepada nasabah tanpa uang muka. Tetapi karena tidak semua nasabah merupakan nasabah prima, pembayaran cicilan pun mulai seret sehingga banyak timbuk kredit macet[1].

Dalam suatu negara dengan industri keuangan yang demikian maju seperti Amerika Serikat, kredit-kredit perumahan tersebut oleh bank dikumpulkan dan disekuritisasi, yaitu proses mentransformasikan kredit kepemilikan rumah menjadi surat berharga (sekuritas), yang disebut mortgage back securities (MBS) dengan varian yang bernama collateralized debt obligation (CDO). Proses sekuritisasi surat hutang tersebut banyak dibantu oleh lembaga keuangan yang awalnya didirikan pemerintah AS untuk tujuan tersebut yaitu Fannie Mae dan Freddi Mac. Karena tugas tersebut, kedua lembaga tersebut memberikan jaminan dan memiliki stock MBS dan CDO. Sekuritas hipotek perumahan tersebut telah menyebar ke seluruh dunia[2]

Ketika terjadi masalah pembayaran cicilan MBS dan CDO, pasar memperkirakan kedua lembaga yang sahamnya sudah dicatatkan di Bursa Saham New York tersebut pasti rugi besar dan investor pun rame-rame melepas saham yang berujung pada jatuhnya harga saham. Lembaga lain yang turut terkena imbas dari masalah tersebut adalah bank-bank besar dan perusahaan asuransi. Usaha keluar dari krisis ekonomi dilakukan Presiden Obama melalui program Stimulus Fiskal sebesar kurang lebih US$800 milyar yang dikeluarkan dengan dukungan Undang-Undang The Emergency Econonmic Stabilization Act[3].

Krisis ekonomi di Amerika Serikat tersebut telah meningkatkan angka pengangguran yang mencapai 7.2 % di akhir tahun 2008 dan masih akan terus bertahan atau bertambah pada tahun 2009. Angka Kuartal I tahun 2009 memperlihatkan angka pengangguran 8.9 %. Dampak positif kebijakan stimulus keuangan diharapkan baru akan mengerem angka penggangguran. Dampak krisis yang bermula di Amerika Serikat terasa hampir ke seluruh dunia yang terlihat dari adanya inflasi secara global, meningkatnya angka pengangguran, tingginya harga minyak dan pasar perumahan yang macet. Pertumbuhan ekonomi dunia menurun dari 3.2 % pada tahun 2008 menjadi 1 % pada tahun 2009. Pertumbuhan perdagangan juga melemah dari 2.5 % pada tahun 2008 menjadi minus 5 % pada tahun 2009. Krisis juga telah melemahkan hasil-hasil pembangunan khususnya dalam kerangka Millenium Development Goal di banyak negara berkembang.

Sekjen PBB dalam sambutannya di Sesi Substantif United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) 20009 memaparkan bahwa kondisi krisis ekonomi saat ini menyebabkan lambatnya proses pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Hal ini diindikasikan dengan adanya ancaman kelaparan akibat tingginya harga produk pangan, perubahan iklim, pandemik influenza, lambatnya proses perbaikan sanitasi dan tidak tercapainya pembangunan sesuai yang ditargetkan.

B. Langkah-langkah Penanganan Krisis

Dalam upaya mencari jalan keluar dari krisis, kelompok Negara 20 dalam pertemuan pada bulan April di London telah sepakat mengeluarkan Komunike Bersama, yang berisi komitmen dan langkah-langkah untuk menangani krisis melalui paket Stimulus senilai 1.1 trilyun dolar Amerika, rekonstruksi toxid asset sebesar US$ 1.4 trilyun dan meningkatkan permodalan lembaga Bretton Woods sebesar US$ 1.1 trilyun. Hasil pertemuan G-20 memang masih menekankan mengenai pentingnya peran IMF dalam membantu negara-negara keluar dari krisis. Memang benar, banyak kalangan melihat bahwa selama ini lembaga keuangan internasional memiliki berbagai kelemahan-kelemahan dan yang turut andil dengan terjadinya krisis global saat ini. Lemahnya transparansi khususnya dalam manajemen resiko dan lemahnya sistem pengawasan khususnya untuk transaksi-transaksi keuangan telah menyebabkan krisis. Sistem yang berlaku sekarang khususnya yang ada di IMF dan Bank Dunia juga kurang memperhatikan aspek keadilan, kesetaraan dan keterwakilan khususnya antara negara maju dan negara. Oleh karena itu salah satu Kommunike G-20 adalah juga menegaskan mengenai perlunya dilakukan reformasi sistem dan tatanan keuangan internasional termasuk reformasi lembaga Bretton Woods.

Persepsi atas kegagalan IMF dalam membantu mengatasi krisis beberapa dekade terakhir telah memberikan tantangan terhadap relevansi dan legitimasi lembaga Bretton Woods dan mendorong munculnya pandangan mengenai perlunya institusi alternatif dalam penanganan krisis pada tingkat regional dan mendorong negara-negara di kawasan untuk memperkuat kerjasama keuangan.

Tata kelola yang ada di IMF dinilai kurang dapat merefleksikan kenyataan politik dan ekonomi dengan semakin meningkatnya peran Asia di percaturan politik ekonomi di dunia. Berbagai persyaratan pinjaman dan saran yang disampaikan oleh lembaga keuangan tersebut justru kurang bisa menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang dihadapi negara berkembang yag menjalin kerjasama keuangan dengan lembaga tersebut. Negara berkembang merupakan kelompok negara yang harus menanggung akibat dari krisis yang bukan diciptakan oleh mereka, namun tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan langkah-langkah mitigasi dalam menghadapi krisis tersebut. Hal ini telah sangat berpengaruh dalam berbagai program pembangunan nasional, pengurangan tingkat kemiskinan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium.

Reformasi tersebut tidak akan mudah dilakukan mengingat hal ini terkait dengan voting rights yang didasarkan pada besaran kontribusi negara anggota dan political will dari negara-negara maju yang nampaknya masih cukup enggan untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada negara-negara berkembang. Pada sisi lain, upaya untuk meningkatkan suara negara berkembang juga dihadapkan pada tantangan keterbatasan keuangan untuk meningkatkan kontribusinya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan suatu formula baru dalam penentuan voting rights yang tidak semata-mata didasarkan pada kontribusi.

Reformasi kelembagaan Bretton Woods juga belum cukup dalam menjamin terciptanya tatanan sistem keuangan internasional yang aman dan adil. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kapasitas IMF dan Bank Dunia dalam mempengaruhi tatatnan keuangan global. Sebagai ilustrasi aliran dana global adalah sekitar US$ 10 trilyun per hari, sementara itu kapasitas IMF sekitar US$30 milyar dan Bank Dunia US$13 milyar per tahun.

Laporan tahun 2007 yang dibuat oleh McKinsey Global Institute menggambarkan parameter lanskap finansial global yang ada sekarang dan pergeseran baru kekuatan finansial. Studi itu menggambarkan empat “pialang kekuatan” ekonomi global, yaitu investor dari negara-negara pengekspor minyak, bankir bank sentral Asia dan kekayaan asing mereka, dana lindung nilai (hedged funds) dan perusahaan ekuitas swasta. Empat pialang kekuatan ini semakin mengendalikan dan membentuk sistem finansial global dan memiliki aset yang telah berlipat ganda sampai sekitar US$10 trilyun. Diantara empat pialang besar tersebut, para produsen minyak mengendalikan saham terbesar yaitu sekitar US$4 trilyun, berbagai bank sentral Asia mengendalikan kurang lebih US$3 trilyun dan China mengendalikan setengahnya dan dana lindung nilai sekitar US$3 trilyun.

Oleh karena itu, sesuai dengan kesepakatan Pemimpin G-20 dalam pertemuannya di London, keberhasilan reformasi tatatanan keuangan internasional akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa jauh pemerintah nasional berhasil melakukan supervisi dan pengawasan lalu lintas keuangan, penanganan aksi spekulasi dan memperkecil ketidakseimbangan dalam perdagangan dan investasi global. Kita semua juga berkepentingan agar lemabaga-lembaga keuangan internasional dapat meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan surveillance untuk membantu negara-negara dalam mencegah krisis yang sama di masa yang akan datang.

C. Dampak Krisis terhadap Geostrategis Asia

Krisis keuangan global telah mendorong munculnya perubahan peta geopolitik dan geekonomi global khususnya di Asia. Negara-negara yang dapat keluar dari krisis secara lebih cepat dan menjadi lebih kuat dibandingkan yang lain akan memperoleh pengaruh baik secara regional maupun global yang akan mempengaruhi terjadinya pergeseran balance of power. Bagi Amerika, krisis merupakan tantangan atas kepemimpinan global yang selama ini dipegang. Defisit anggaran pemerintah AS sebesar 1,09 trilyun dollar ajkan sangat mempengaruhi anggaran belanja militer AS yang apad gilirannya akan mempengaruhi kemampuan militernya. Sebaliknya Asia justru menjadi kawasan yang paling menonjol karena kekuatan ekonomi dan politiknya[1]. Bahkan dalam bidang pertahanan, beberapa pengamat memperkirakan kemungkinan China untuk lebih memperkuat pertahanannya dan menajdi alternatif bagi kekuatan militer AS. Bagi China krisis merupakan peluang untuk semakin menancamkan pengaruh globalnya. Perkiraan Goldman Sachs, tahun 2050 China akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar, menggeser Amerika Serikat ke urutan kedua disusul India.

Krisis juga telah semakin memperkuat kerjasama keuangan di wilayah Asia Timur. Negara anggota ASEAN Plus Three sepakat untuk memperkuat kerjasama dalam bilateral swap currency melalui pembentukan Chiang Mai Initiatives Multilateralization (CGIM) dengan meningkatkan reserve pooling dari US$ 80 milyar menjadi US$ 120 milyar untuk menambah akses likuiditas valuta asing yang lebih besar melalui pendanaan bersama. Pada pertemuan pada bulan Mei 2009 ASEAN Plus Three Finance Minister juga sepakat untuk menerapkan CMIM sebelum akhir 2009 dan membentuk Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM) dengan modal awal sebesar US$500 juta dalam kerangka Asian Bond Market Initiatives.

Kawasan Asia terutama Asia Timur dengan potensi yang ada dapat melakukan ekpansi fiskal dan moneter yang signifikan. Selama masa krisis ini banyak negara di kawasan yang memiliki pertumbuhan yang relatif positif. Untuk itu, negara-negara di kawasan perlu secara koleksif melakukan identifikasi langkah-langkah bersama untuk meningkatkan permintaan domestik dan meningkatkan pemulihan ekonomi. Krisis memberikan ruang bagi negara-negara di Asia untuk memaksimalkan perannya (secara politik) dalam upaya mengatasi krisis. Krisis akan memicu meingkatnya kemiskinan, tindak kriminalitas dan angka kematian akibat kurangnya anggaran kesehatabn.

Krisis finansial sedikit banyak mengubah paradigma states dalam menghadapi kompetisi global. Gejala ini sudah nampak ketika China-Taiwan membuka hubungan dagang November tahun 2008, atau ketika Uni Eropa yang merupakan sekutu tradisional AS bersikeras menertibkan pasar modal terlebih dahulu sebelum mengucurkan dana segar ke pasar, atau ketika negara-negara nerkembang seperti Indonesia berusaha mencari alternatif green back dengan menandatangani bilateral currency swap arrangement dengan China, Korea Selatan dan Jepang. Sejumlah media terkemuka seperti the Economist terbitan Februari 2009 melalui artikelnya “the Return of Economic Nationalism” bahkan mulai membahas tentang potensi proteksionisme yangmakin menguat dan meningkatnya kembali peran negara dalam berbagai kegiatan ekonomi yang semua diserahkan kepada pasar. Oleh juga sudahj mulai melakukan refleksi mengenai batasan kapitalisme, bukan lagi kapitalisme yang liberal namun kapitalisme yang bertanggung jawab (kapitalisme sosialis).

Kawasan Asia juga perlu mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan memperkuat reformasi pasar uang. Ekonomi Asia Timur dapat memainkan posisi leadership dalam memperjuangkan kepentingan kawasan dalam pengembangan dan pembangunan standar regulasi sistem perbankan dan reformasi pasar finansial di kawasan. Dengan cara ini, kita dapat meningkatkan kepercayaan dan posisi ekonomi Asia Timur sebagai pusat penulihan ekonomi global. Saya berkeyakinan bahwa Asia Timur memiliki potensi peran yang sangat besar dalam proses pemulihan global. Yang kita perlukan adalah kebijakan terpadu dan komprehensif dari negara-negara di kawasan dalam memproyeksikan kepentingan staregis kawasan dalam lingkungan keuangan global. Tidak kalah penting adalah upaya memperkuat forum kerjasama yang ada di kawasan untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang yang muncul dari adanya krisis global ini. Keputusan Menlu ASEAN dalam pertemuannya di Phuket beberapa waktu yang lalu yang telah menerima secara prinsipil ASEAN Human Rights Body merupakan salah satu upaya untuk memperkuat ASEAN melalui proses pembangunan politik di kawasan. Hanya dengan ASEAN yang kuat yang akan mampu membawa negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam mengambil peran kepemimpinan dalam percaturan politik dan ekonomi global dan regional. Saya tahu itu bukan sesuatu yang mudah mengingat peran dan kepentingan negara-negara besar yang selamanya akan selalu hadir di kawasan. Namun saya yakin bahwa penguatan kerjasama di kawasan melalui berbagai kerjasama yang konkret dan memberikan hasil yang nyata akan mampu membawa negara-negara di kawasan untuk berbicara dan didengar oleh kekuatan-kekuatan dunia lainnya.

Cukup menarik jika kita menyimak thesis Kishore Mahbubani dalam the Asian Hemisphere: the Irresistible Shift of Global Power to the East, yang menyatakan bahwa abad ini akan menjelma menjadi abad kebangkitan Asia. Selama dua dekade terakhir, dinamika Asia ditandai oleh terciptanya berbagai kemajuan dibidang sosial dan ekonomi yang dibarengi dengan munculnya budaya damai terutama rentang hubungan antar negara. Realitas yang terbentang selama dua dekade ini penting untuk dicatat sebagai keberhasilan Asia menemukan jalinan antara dinamika ekonomi di satu sisi dan terwujudkan perdamaian kawasan pada sisi lain. Boleh dikata, berbagai sorotan ekonomi politik yang dilakukan Kishore Mahbubani tersebut merupakan penegasan terhadap sesuatu yang tidak terelakkan, yaitu masa senja peradapan barat.

Dalam thesis tersebut Indonesia dan ASEAN dinilai seolah tidak signifikan dalam kebangkitan Asia versi Mahbubani. Bagi Indonesia sendiri kita perlu bertanya dalam hati bagaimana Indonesia memposisikan diri secara tepat dan sekaligus terhormat ke dalam pusaran abad Asia pada beberapa dekade mendatang. Untuk itu kita secara terus-menerus harus membangun bangsa kita dan memperkuat langkah-langkah integrasi di kawasan ASEAN untuk mewujudkan Komunitas ASEAN.

D. Kebijakan Nasional dalam menangani Krisis

Bagi Indonesia sendiri krisis keuangan tetaplah memiliki dampak, meskipun tidak sebesar negara tatangga seperti Singapura dan Malaysia. Lesunya pertumbuhan ekonomi dunia khususnya di negara-negara yang selama ini menjadi pasar utama ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang turut mempengaruhi tingkat permintaan barang produksi Indonesia, yang pada gilirannya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja nasional. Ekonomi diproyeksikan akan tumbuh dalam tingkatan yang sedang yaitu sekitar 4 % saja untuk tahun 2009, suatu tingkat yang sebenarnya kurang kondusif untuk menampung pertumbuhan angkatan kerja.

Berkaitan dengan terjadinya krisis global tersebut, Presiden SBY telah memberikan arahan dalam menghadapi krisis keuangan global, yang dimaksudkan untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi.

Arahan yang pertama adalah agar semua kalangan harus tetap optimis dan bersinergi dalam memelihara momentum pertumbuhan, tetap[ bekerjasa keras dan melakukan tindakan yang tepat, optimalisasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan dan membangun sosial safety net,menggerakkan dunia usaha, menangkap peluang untuk melakukan perdagangan dan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat, menggalakkan penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik bertambah kuat, memperkokoh sinergi dan kemitraan (partnership) dengan perbankan dan dunia usaha, meningkatkan koordinasi antar instansi terkait.

Presiden SBY juga telah menetapkan grand strategy pembangunan ekonomi ke depan, yaitu meningkatkan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri untuk mengurangi keteragantungan arus modal dari luar, meningkatkan tabungan (saving) dalam negeri sebagai sumber investasi domestik, memperkuat pasar dalam negeri agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya mengandalkan ekspor, yang setiap saat bisa terancam manakali ekonomi dunia mengalami depresi.

Strategi lainnya adalah berupaya meninbgkatkan daya beli masyarakat agar pasar domestik main tumbuh dengan baik, menggalakkan penggunaan produksi dalam negeri, meningkatkabn ketahanan dan kecukupan kebutuhan rakyat terutama pangan, memajukan ekomi daerah dan mengelola dan mendayagunakan sumber alam agar benar-benar dapat meningkatkabn penerimaan negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Langkah lain yang tidak kalah penting adalah menerapkan kebijakan countercyclical dalam bentuk stimulus fiskal untuk mencegah perlemahan ekonomi yang lebih parah, yang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan daya beli masyarakat untuk menjaga agar konsumsi rumah tangga tetap tumbuh, menjaga daya tahan perusahaan/sektor swasta mengahadapi krisis, menciptakan kesempatan kerja dan menyerap dampak PHK melalui kebijaka pembangunan infrastruktur padat karya.

E. Peningkatan Peran Kebijakan Luar Negeri


Bagi Indonesia krisis global seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai “entry point’ dalam meninjau kembali secara komprehensif politik luar negeri Indonesia ditengah-tengah dinamika hubungan internasional dewasa ini. Krisis keuangan global dan keterlibatan Forum G-20 untuk mendukung penanganan terhadap krisis merupakan berkah tersendiri bagi emerging economies seperti Indonesia karena krisis telah memaksa negara maju melakukan pengeturan secara lebih baik terhadap sektor keuangan internasional. Keputusan Financial Stability froum untuk memperluas keanggotaan dengan memasukkan Indonesia sebagai anggota baru mempunyai arti yang sangat penting karena Indonesia dalam batas-batas tertentu ikut berperan dalam merancang arsitektur keuangan global di masa yang akan datang.

Pergeseran konstelasi kekuatan di atas tentunya akan berdampak pada bagaimana persepsi politik luar negeri Indonesia dalam melihat paradigma hubungan internasional. Tanpa meninggalkan peran tradisionalnya, diharapkan polugri adapat mengakomodir berbagai peran baru Indonesia dalam hubungan internasioonal.

Indonesia berpeluang untuk turut serta berperan dalam membangun sistem dan tatanan keuangan regional dan internasional dengan mengajak negara-negara di Asia untuk mengkoordinasikan kebijakan makro ekonomi, moneter, fiskal dan penetapan kebijakan kurs devisa.

Dalam upaya mendukung langkah pemerintah dalam menangani krisis, prioritas aktivitas diplomasi Indonesia diarahkan pada upaya untuk meningkatkan, memperluas atau mencari pasar-pasar non-tradisional baru seperti rusia, negara-negara Eropa Timur, Afrika dan Amerika Latin. Hal ini penting untuk memastikan kelanjutan ekspor Indonesia sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Prioritas lainnya dalam bidang ekonomi adalah meningkatkan upaya untuk memperkuat kerjasama ekonomi terutama kerjasama keuangan dan pembangunan. Diplomasi Indonesia tidak terlepas dari kontek krisis multidimesi pada tingakt global dan dinamika integrasi kawasan. Indonesia perlu secara lebih aktif dan proaktif untuk menghadapi tantangan pasca krisis global yang dampaknya akan semakin besar dalam beberapa tahun mendatang. Indonesia berpeluang menarik investasi khususnya dari negara-negara yang tergabung dalam blok ekonomi GCC (gulf Cooperation Council) yang memiliki surplus likuiditas yang cukup tinggi paska kenaikan drqstis harga minyak dunia pada tahun 2008 yang lalu

Menurut Goldman Sachs potensi investasi dari negara-negara tersebut diperkirakan berkisar antara 92-125 milyar dolar Amerika per tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 6-12 milay dolar diinvestasikan di pasar modal di Asia pasifik. Denagn jumlah yang cukup besar tersebut, Indonesia mesti berkompetisi untuk mendapatkan aliran dana petrodolar ini. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam usaha menarik aliran dana dari teluk, diantaranya disahkannya UU no. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara sebagai payung hukum penerbitan sukuk. Pemri juga perlu lebih aktif dalam memperbaiki citra Indonesia di kawasan tersebut.

Menyadari adanya potensi dampak serius dari krisis finansial – terutama kemungkinan melemahnya permintaan produk ekspor dari negara-negara maju, maka diplomasi Indonesia perlu diprioritaskan untuk diarahkan pada upaya meningkatkan, memperluas atau mencari pasar-pasar non tradisional baru seperti Rusia, negara-negara Eropa Timur, Afrika dan Amerika Latin. Hal ini penting untuk memastikan kelanjutan ekspor Indonesia sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Untuk itu aktivitas diplomasi perlu juga diarahkan untuk menerjemahkan berbagai kedekatan-kedekatan politik menjadi kemanfaatan ekonomi, khususnya memabntu tugas-tugas promosi perdaganga, investasi, pariwisata dan tenaga kerja.

Perwakilan RI juga diharapkan dapat berperan dalam membantu mengamankan pasar ekspor Indonesia. Perwakin dapat memberikan informasi berkenaan dengan kebijakan proteksi pasar domestik di setiap negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Program pemberian stimulus ekonomi tidak akan berarti jika permasalahan ekspor, pendisplinan jalur ekspor impor dan pemakaian produk dalam negeri belum mendapat penyelesiaian.



[1] The Economist, 11-17 July 2009, p.76



[1] David m. Smick, The World is Curved, Porfolio, Penguin Groups, 2008

[2] George Soros, The New Paradigm for Financial Market, Public Affairs, the Preseus Books Group, 2008.

[3] Berbagai produk hukum dan undang-undang dikeluarkan untuk penanganan masalah krisis tersebut, antara lain Banking (Special provision) Act 2008 untuk membantu bank, Housing and Economic Recovery Act of 2008 untuk subsidi perumahan dan ekonomi untuk masyarakat bawah, Economic Stimulus Act of 2008 untuk kebijakan pemerintah pada waktu ada masalah darurat, Troubled Asset Relief untuk menolong pemilik aset yang menghadapi masalah, Term Asset-backed Securities Loan Facilityuntuk menolong mereka yang memerlukan fasilitas pinjaman yang jaminannya adalah sekuritas/saham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar